Pembebasan Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau

Dalam prinsip adat Minangkabau, tanah ulayat tidak boleh dijual belikan, akan tetapi tanah ulayat tersebut dapat digadaikan. Di Minangkabau tidak ada orang yang mau dan dapat menjual hartanya seperti : tanah, sawah, ladang atau rumah, karena selain harta tersebut merupakan milik bersama, hukum adatpun tidak membenarkannya. Pameo mereka mengatakan : dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando (dijual tak dimakan beli, digadai tak dimakan sandera).

Apabila harta pusaka itu akan dipindah tangankan untuk mengatasi kesulitan, tanah tersebut hanya dapat digadaikan atau disandokan sebagai jaminan pinjaman. Sando ada tiga jenisnya yakni, sando atau sandaro yakni menggadaikan harta yang akan ditebus sewaktu-waktu, sekurang-kurangnya setelah sekali panen. Sando kudo yaitu menggadaikan harta yang tidak mungkin ditebus lagi karena telah beberapa kali dipadalam (diperdalam) yakni uang gadai diminta tambah sehingga kalau hendak ditebus harganya terlalu tinggi. Sando agung yaitu merungguhkan harta untuk selamanya.
Hanya karena empat alasan pegang gadai dapat dilakukan. Itupun harus atas kesepakatan warga kaum, keempat alasan tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, maik tabujua diateh rumah (mayat terbujur diatas rumah). Apabila terjadi musibah, meminggalnya salah satu anggota keluarga.Disaat ahli waris tidak memiliki uang untuk menyelengarakannya, maka tanah ulayat tersebut dapat digadaikan guna menyelenggarakan upacara tersebut. Begitu juga menurut Navis , upacara kematian seorang anggota kaum yang dihormati harus sama agungnya dengan upacara perkawinan atau penobatan penghulu. Upacara berlangsung bertahap-tahap seperti, pada waktu tiga hari, tujuh hari, tiga kali tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari dan akhirnya tiga kali seratus hari. Setiap upacara senantiasa mengadakan kenduri makan minum.
Kedua, mambangkik batang tarandam, (membangkit batang terendam), dimaksudkan melakukan upacara managakkan gala pusako (mendirikan gelar pusaka) yaitu mendirikan penghulu baru, memakai gelar kebesaran yang elah lama tidak dipakai,atau menggantikan penghulu yang tidak dapat berfungsi lagi, karena mengundurkan diri atau meninggal.
Ketiga, gadih gadang indak balaki (gadis dewasa belum bersuami), tanah dapat digadaikan ketika ada gadis yang telah cukup umur tetapi belum mendapatkan suami. Uang dari penggadaian tanah tersebut digunakan untuk mencari dan menjemput calon suami ana gadis tersebut, juga membiayai persiapan dan pelaksanaan perkawinan seorang gadis yang biasanya mahal karena perjamuan yang berlarut-larut.
Keempat, rumah gadang katirisan (rumah gadang sudah bocor) Tanah digadaikan untuk keperluan membiayai perbaikan rumah gadang yang telah rusak, dimana rumah gadang termasuk simbol kebesaran sebuah kaum di Minangkabau.
Syarat pegang gadai sangat berat bagi pihak yang menggadaikan. Nilai harga gadaian hampir seperti harga jual, sehingga akan sulit menebusnya kembali. Dan selama tergadai, hasil atau sebagian hasil dari harta pusaka itu tidak diperoleh lagi. Olah karena itu, kalau tidak oleh alasan yang berat yang akan dapat memberi malu kerabat, maka pegang gadai tidak akan pernah dapat dilakukan.

Tinggalkan komentar